Teorema Kekosongan Yang Sempurna

TEOREMA KEKOSONGAN YANG SEMPURNA

Pukul 3:47 pagi, dan saya masih terjaga menghitung angka-angka yang tak masuk akal di layar komputer. Di luar, hujan turun dengan ritme yang aneh – seperti seseorang sedang memainkan jazz dengan not yang salah.

Seharusnya tidak ada yang istimewa dengan malam ini, tapi entah mengapa semuanya terasa sedikit bergeser dari tempatnya yang biasa. “Angka-angka ini tidak masuk akal,” gumam saya pada diri sendiri, sambil mengusap mata yang mulai terasa berat. Sebagai seorang analis data di sebuah perusahaan asuransi yang tidak terlalu besar, saya sudah terbiasa berurusan dengan angka-angka. Tapi kali ini berbeda. Angka-angka di layar komputer saya seolah menari-nari, membentuk pola yang tidak seharusnya ada.

Saya menyesap kopi yang sudah dingin – kopi hitam tanpa gula, seperti yang selalu saya minum sejak bertemu dengan gadis itu. Namanya Yuki, atau setidaknya itulah yang dia katakan pada saya. Kami bertemu di sebuah kafe kecil di sudut Shibuya tiga bulan lalu, ketika dia tiba-tiba duduk di meja saya dan berkata, “Maaf, tapi apakah Anda percaya bahwa matematika bisa menjelaskan cinta?”

Pertanyaan itu terdengar absurd, tentu saja. Tapi ada sesuatu dalam cara dia mengatakannya dengan mata yang serius dan suara yang tenang – yang membuat saya tidak bisa tidak menjawabnya.

“Mungkin,” kata saya waktu itu, “jika kita memiliki rumus yang tepat.” Dia tersenyum, senyum yang aneh yang seolah menyimpan ribuan rahasia. “Bagaimana kalau saya katakan bahwa saya memiliki rumus itu?”

Sejak hari itu, hidup saya berubah. Yuki mulai mengunjungi kantor saya setiap Rabu pukul 15:15 tepat, membawa setumpuk kertas penuh dengan perhitungan yang rumit. Dia tidak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya sedang dia cari, tapi saya tahu itu ada hubungannya dengan teorema yang dia sebut sebagai “Teorema Kekosongan yang Sempurna”

“Setiap hubungan antar manusia bisa dipetakan dalam koordinat matematika,” katanya suatu hari. “Cinta, kebencian, kerinduan – semuanya bisa diturunkan menjadi angka-angka. Dan jika kita bisa menemukan pola yang tepat, kita bisa memprediksi kapan seseorang akan jatuh cinta atau patah hati.”

Saya seharusnya menganggap ide itu gila. Tapi setelah bekerja dengan data selama bertahun-tahun, saya tahu bahwa terkadang pola-pola yang paling tidak masuk akal justru menyimpan kebenaran yang paling dalam.Yuki selalu mengenakan sweater putih yang sama setiap kali mengunjungi saya. Ada noda kopi kecil di bagian lengan kanannya, tepat di bawah siku. Dia tidak pernah mencoba membersihkannya.

“Noda ini adalah variabel tetap dalam persamaan kita,” katanya sambil tertawa kecil ketika saya menanyakannya pada kunjungannya yang kesembilan, dia membawa sebuah disk eksternal berwarna hitam. “Ini adalah data yang saya kumpulkan selama lima tahun terakhir,” katanya. “Data tentang setiap orang yang pernah saya temui, setiap interaksi yang pernah saya alami, setiap perasaan yang pernah saya rasakan.

Semuanya sudah saya konversi menjadi angka.” Saya menghabiskan minggu berikutnya menganalisis data itu. Ada sesuatu yang menakjubkan sekaligus mengerikan dalam cara Yuki mengubah emosi manusia menjadi sekumpulan angka. Setiap pertemuan, setiap percakapan, setiap sentuhan – semuanya memiliki nilai numerik yang tepat. Tapi ada yang aneh dengan data itu. Semakin dalam saya menggali, semakin saya merasa ada sesuatu yang hilang. Seperti lubang hitam di tengah lautan angka, sebuah kekosongan yang sempurna yang tidak bisa dijelaskan dengan logika apa pun.

Pada suatu malam yang hujan – seperti malam ini – Yuki datang ke apartemen saya. Ini pertama kalinya dia mengunjungi saya di luar jadwal regularnya. Dia basah kuyup, tapi matanya bersinar dengan cara yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

“Saya sudah menemukannya,” katanya tanpa basa-basi. “Teorema Kekosongan yang Sempurna. Dan Anda adalah bagian dari solusinya.” Dia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya yang basah. Di atasnya tertulis serangkaian rumus yang rumit, dengan simbol-simbol yang sebagian saya kenali dari pelajaran matematika tingkat lanjut, dan sebagian lagi tampak asing.

“Lihat,” katanya sambil menunjuk ke bagian tengah rumus. “Ini adalah Anda. Dan ini adalah saya. Dan ruang kosong di antara kita – kekosongan yang sempurna ini – adalah jawaban yang selama ini saya cari.”

Saya menatap rumus itu, mencoba memahami apa yang dia maksud. Dan perlahan-lahan, seperti kabut yang menipis di pagi hari, saya mulai melihatnya. Pola itu. Ritme itu. Cara angkaangka itu berinteraksi satu sama lain, menciptakan harmoni yang aneh tapi indah.

“Tapi ini tidak mungkin,” kata saya. “Rumus ini menunjukkan bahwa…”
“Ya,” potongnya. “Rumus ini menunjukkan bahwa cinta yang paling sempurna adalah cinta yang tidak pernah terjadi. Kekosongan yang sempurna adalah bentuk cinta yang paling murni.”

Dia tersenyum, senyum yang sama seperti ketika kami pertama kali bertemu. Tapi kali ini ada kesedihan di dalamnya, kesedihan yang dalam dan tak terukur. “Karena itu saya harus pergi,” katanya pelan.

“Untuk menjaga kesempurnaan teorema ini.”

“Tapi bagaimana dengan semua data ini? Semua penelitian ini?”

“Simpan saja. Suatu hari nanti, ketika Anda siap, Anda akan mengerti.” Dia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Sweater putihnya yang basah melekat di tubuhnya, membuat noda kopi di lengannya tampak lebih gelap dari biasanya.

“Yuki,” panggil saya. “Apakah semua ini nyata? Apakah Anda nyata?” Dia berhenti sejenak, tangannya sudah memegang gagang pintu.

“Dalam matematika, tidak ada yang benar-benar nyata atau tidak nyata. Yang ada hanya pola dan kekosongan. Dan terkadang, kekosongan itu lebih nyata dari apa pun yang bisa kita sentuh.” Itu adalah terakhir kalinya saya melihat Yuki.

Sekarang, tiga bulan kemudian, saya masih di sini, menatap layar komputer pada pukul 3:47 pagi, mencoba memahami data yang dia tinggalkan. Di luar, hujan masih turun dengan ritme jazznya yang salah. Dan di tengah lautan angka ini, saya mulai melihat sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya sadari.

Setiap kali saya mencoba menghitung jumlah total data dalam file-file yang dia tinggalkan, hasilnya selalu berbeda. Kadang lebih banyak, kadang lebih sedikit. Seperti angka-angka itu hidup dan bernapas, tumbuh dan menyusut sesuai dengan ritme yang hanya mereka pahami.

Saya membuka jendela, membiarkan udara dingin dan aroma hujan memenuhi ruangan. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkedip seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Saya teringat sesuatu yang pernah Yuki katakan: “Kota di malam hari adalah bentuk lain dari koordinat matematika. Setiap lampu adalah titik dalam ruang, setiap jalan adalah garis yang menghubungkan titik-titik itu. Dan di suatu tempat, di antara semua titik dan garis itu, ada kekosongan yang sempurna yang menunggu untuk ditemukan.”

Saya mengambil secangkir kopi baru – masih hitam, masih tanpa gula – dan kembali ke meja kerja saya. Ada sesuatu dalam data ini yang ingin berbicara kepada saya. Mungkin Yuki benar. Mungkin cinta yang paling sempurna memang adalah cinta yang tidak pernah terjadi. Atau mungkin, seperti jazz yang dimainkan dengan not yang salah, justru dalam ketidaksempurnaan itulah kita menemukan keindahan yang sejati.

Di sudut layar komputer saya, sebuah file baru tiba-tiba muncul. Namanya hanya serangkaian angka: 34715982. Saya tidak ingat pernah membuat file ini. Dengan tangan yang sedikit gemetar, saya mengkliknya.
File itu berisi satu baris kode yang sangat sederhana:

“`python

def teorema_kekosongan(x, y):

“`
return abs(x – y) == float(‘inf’; )

Saya tersenyum. Tentu saja. Kekosongan yang sempurna adalah jarak tak terhingga antara dua titik yang seharusnya berdekatan. Seperti dua orang yang duduk bersebelahan di sebuah kafe di Shibuya, tapi terpisah oleh jurang tak terlihat yang tak akan pernah bisa dijembatani.

Di luar, hujan mulai mereda. Jazz yang salah perlahan berganti menjadi sunyi yang dalam. Saya mematikan komputer dan berjalan ke arah jendela. Kota mulai bangun, mempersiapkan diri untuk hari yang baru.

Di suatu tempat di luar sana, mungkin Yuki sedang membuat secangkir kopi – hitam, tanpa gula – dan menghitung jarak antara dua hati yang tidak pernah bertemu.

Saya mengeluarkan secarik kertas dan mulai menulis:

“Untuk Yuki, Saya akhirnya mengerti. Kekosongan yang sempurna bukanlah tentang ketidakhadiran. Ini tentang ruang yang kita ciptakan untuk memungkinkan sesuatu yang indah tumbuh. Seperti jeda antara not dalam jazz yang salah, seperti ruang kosong antara bintang-bintang di langit malam.

Teorema Anda benar. Tapi mungkin tidak dengan cara yang Anda pikirkan. Karena dalam kekosongan yang sempurna ini, saya menemukan sesuatu yang lebih nyata dari semua angka dalam database Anda: Kenangan tentang seorang gadis dalam sweater putih, dengan noda kopi di lengan kanannya, yang mengajari saya bahwa terkadang, cinta tidak perlu dibuktikan dengan teorema. Dari seseorang yang masih menghitung, – M”

Saya melipat surat itu dan menyimpannya di laci meja kerja saya, di antara tumpukan berkas-berkas yang tidak pernah selesai saya kerjakan. Mungkin suatu hari nanti, ketika waktu sudah tepat, saya akan mengirimkannya. Atau mungkin tidak. Karena terkadang, seperti yang Yuki ajarkan kepada saya, keindahan sejati terletak pada hal-hal yang tidak pernah kita lakukan.

Pukul 5:15 pagi, dan hari baru mulai menjelang. Di mejaku, secangkir kopi yang belum tersentuh mulai mendingin, meninggalkan noda berbentuk lingkaran sempurna di permukaan mejaku seperti simbol tak terhingga yang tidak selesai. Dan di suatu tempat, di antara angka-angka yang menari dan hujan yang berbisik, teorema kekosongan yang sempurna terus hidup, menunggu untuk ditemukan kembali oleh hati yang berani mencarinya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top