TERJEBAK CERITA PENDEK
Bulan Oktober selalu membawa kenangan aneh. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah musim telah salah mengatur termometernya. Saat jarum jam menunjukkan pukul lima sore di hari Selasa itu, aku menemukan diriku berjalan menuju kedai kopi favoritku—sebuah ritual yang kulakukan dua atau tiga kali seminggu, seperti seorang pendeta yang setia mengunjungi altar perenungannya.
The Doors mengalun samar dari speaker kedai saat aku mendorong pintu kayu bercat putih kusam itu. “Riders on the Storm” – pilihan yang tepat untuk suasana senja yang mendung ini. Kedai itu tak lebih dari lima meter persegi, tapi bagiku, ruang kecil ini seperti aku yang berwujud bangunan. Lokasinya strategis: dekat kantor, dekat apartemen, dan yang terpenting, tepat di tepi pantai. Kombinasi sempurna untukku seorang yang gemar menulis cerita pendek yang selalu mencari celah pelarian dari realitas.
“Selamat datang, Mas Abi,” sapa Laras, pelayan berambut hitam sebahu dengan kuncir rapi. Dia mengenakan seragam krem yang selalu terlihat baru, seolah waktu tak berani membuatnya kusut.
“Thanks, Laras. Meja pojok masih kosong?”
“Kebetulan baru aja kosong. Mas beruntung hari ini.”
Aku tersenyum tipis. Keberuntungan adalah konsep yang relatif. Terkadang apa yang kita anggap keberuntungan bisa jadi adalah awal dari serangkaian kejadian yang akan mengubah hidup kita selamanya.
Meja favoritku adalah yang paling pojok, menghadap langsung ke dermaga kecil dan laut lepas. Terbuat dari kayu jati tua berbentuk lingkaran dengan diameter seratus sentimeter, permukaannya menampilkan guratan-guratan usia yang menceritakan ribuan kisah pengunjung sebelumnya. Dua kursi kayu saling berhadapan, satu kutempati, satu lagi kosong—menunggu entah siapa.
Jam digital di pergelangan tangan kananku menunjukkan 17:25. Laras menghampiri dengan membawa menu, tapi kami berdua tahu itu hanya formalitas.
“Jadi pesan apa, Mas?” tanyanya sambil tersenyum. Dia sudah hapal kebiasaanku.
“Yang biasa aja, Ras. Tambah french fries satu porsi.” Aku meletakkan laptop hitamku di atas meja. “Oh iya, asbaknya sekalian ya?”
“Satu Black Original Vietnam Drip robusta – aceh gayo dan French Fries. Noted, Mas.”
Sambil menunggu pesanan, aku menyambungkan laptop ke WiFi kedai. Password-nya masih sama: “KopiTepiLaut2024”. Lagu “Wherever You Are” versi akustik ONE OK ROCK mengalun lembut melalui earphone bluetooth-ku. Takahiro Moriuchi selalu punya cara untuk membuat lirik sederhana terdengar seperti puisi mendalam.
“Mas,” Laras meletakkan pesananku dengan hati-hati. “Hari ini kelihatannya bakal hujan deh.”
“Thanks ya. Iya, langitnya udah mendung dari tadi.”
Aku mulai mengetik, membiarkan jari-jariku menari di atas keyboard. Sesekali, kuangkat dripper dari atas cangkir, menuangkan setengah sachet gula, mengaduknya perlahan seperti sedang mencampur ramuan rahasia. Aroma kopi menguar, mengingatkanku pada perpustakaan tua di Tokyo yang pernah kukunjungi setahun silam.
Di luar, dua belas meja kayu berjajar rapi di bawah langit yang semakin gelap. Angin laut menyusup melalui jendela geser, membawa aroma garam dan nostalgia yang tak bisa kujelaskan. Setelah salat Magrib di musala kecil kedai, aku kembali ke mejaku, siap melanjutkan tulisan yang tertunda.
Lalu dia muncul tanpa peringatan, tanpa suara, seperti karakter dalam novel yang tiba-tiba hadir entah darimana. Seorang perempuan menarik kursi kosong di hadapanku dan duduk begitu saja.
“Gue duduk disini ya?” Suaranya ringan namun tegas, seolah pertanyaannya hanya formalitas.
Aku mengangguk, lebih karena terkejut daripada setuju.
“Lagi ngerjain tugas kantor ya?” tanyanya dengan nada yang terlalu akrab untuk orang asing.
Aku mengernyitkan dahi, memilih diam. Dalam hidupku, aku sudah belajar bahwa beberapa pertanyaan lebih baik dibiarkan menggantung di udara.
Dia melambaikan tangan memanggil Laras. “Aku mau pesan vietnam drip kayak mas ini dong! Tapi kasih krimer dikit aja ya?”
“Ada lagi kak?”
“Sementara itu dulu deh.”
Setelah Laras pergi, perempuan itu kembali fokus padaku. “Mas, udah lama disini?” Aku tetap diam, pura-pura fokus pada laptop. Tiba-tiba dia mulai menggerakkan jemarinya dalam bahasa isyarat.
“Lu kira, gue tuli?” akhirnya aku bersuara.
Dia tertawa kecil, suara tawanya seperti lonceng angin di kuil tua. “Abis mas nya nggak jawab-jawab sih, pas aku nanya.”
“Ya, gue heran aja ada cewek duduk di hadapan gue lalu sok asik dan tiba-tiba nanya-nanya gitu, aneh aja.”
“Selow kali mas, kan cuma nanya.”
“Dan tolong jangan panggil gue MAS! Gue bukan kasir mini market.”
Dia meringis, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku penasaran. Seperti ada rahasia yang tersembunyi di balik iris bola mata cokelatnya.
Selang tak berapa lama, Laras datang membawa pesanan perempuan itu, memberi jeda pada percakapan canggung kami.
“Thanks ya?” ucapnya pada Laras.
“Sama-sama kak.”
Aku mengeluarkan sebungkus rokok mentol dari saku jaket bomber abu-abu, menyalakannya perlahan. “Sory, gue ngerokok ya.”
“Santai, gue juga ngerokok kok.”
Untuk pertama kalinya, aku benar-benar memperhatikannya. Rambut hitam sebahu, kaos hitam dengan outer flanel ungu-hitam sepanjang lutut, jeans biru belel. Kulitnya putih seperti salju pertama di musim dingin, hidung mancung dengan garis alis tajam yang membingkai wajah ovalnya dengan sempurna. Ada sesuatu yang familiar sekaligus asing dalam penampilannya.
Yang paling menarik adalah senyumnya—tipis namun memiliki gravitasi tersendiri, berlapis lipstik warna pastel yang membuatnya terlihat seperti lukisan Edward Hopper yang hidup. Kalau harus menebak berat senyumnya, mungkin sekitar sembilan miligram, seringan bulu angsa tapi seberat kenangan.
“O iya, aku Kinar,” dia mengulurkan tangannya.
“Abimanyu.” Aku menjabat tangannya. Hangat. “Tapi panggil aja Abi, biar nggak kepanjangan.”
“Okay.” Dia membuat gestur OK dengan jarinya.
“Jadi,” dia memulai sambil menyesap kopinya, “apa yang membuat seorang penulis cerita pendek memilih kedai ini sebagai markasnya?”
Aku tersentak. “Gimana lu tau gue penulis?”
“Ada beberapa hal yang gampang ditebak dari cara seseorang memandang dunia. Lu ngetik sambil sesekali mandang keluar jendela dengan tatapan menerawang. Classic writer’s habit.”
“That’s… surprisingly observant.”
“I notice things. It’s both a blessing and a curse.” Dia mengambil rokok dari bungkusan yang kuletakkan di meja. “Boleh?” Aku mengangguk, menyodorkan pemantik.
“Tau nggak,” dia melanjutkan setelah menghembuskan asap ke udara, “kadang gue mikir hidup ini kayak kedai kopi. Kita semua cuma pengunjung sementara, mencari tempat duduk yang nyaman, berharap bisa nemuin sesuatu yang bermakna sebelum waktu berkunjung kita habis.”
“That’s… deep.”
“Too deep for a first conversation with a stranger?”
“Maybe.” Aku tersenyum tipis. “Tapi hidup emang aneh. Kadang orang asing justru bisa bikin kita mikir lebih dalam daripada orang yang udah kita kenal lama.”
Percakapan mereka berlanjut dengan dialog filosofis mereka tentang eksistensi, waktu, dan kebetulan. Kinar berbagi cerita tentang pekerjaannya sebagai kurator galeri seni, sementara Abi menceritakan tentang proses kreatifnya sebagai penulis. Mereka membahas musik, film, dan buku-buku yang mereka sukai. Waktu berlalu tanpa terasa.
Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam ketika kami memutuskan untuk pulang. Hujan rintik mulai turun ketika aku mengantarnya ke apartemennya yang ternyata tak jauh dari kostan Abimanyu.
“Thanks udah nganter,” katanya sambil membuka pintu studio apartemennya.
“No problem. Mau masuk dulu? Masih gerimis di luar.”Dia tersenyum misterius. “Why not?”
Di dalam apartemennya yang minimalis, percakapan kami berlanjut. Ada sesuatu yang berbeda dengan atmosfer di ruangan itu—seperti realitas yang sedikit bergeser ke kiri.
Tiba-tiba Kinar mendekatkan wajahnya ke arahku. Jarak di antara kami menyusut hingga tinggal dua sentimeter. Matanya yang cokelat berkilau dalam cahaya lampu yang temaram. Ada sesuatu yang hipnotis dalam tatapannya.
“Abi,” bisiknya, “tau nggak kenapa gue milih duduk di meja lu tadi?”
“Kenapa?”
“Karena… lu adalah karakter yang gue ciptakan.”
Dunia seperti berhenti berputar. “Apa maksud lu?”
“Semua ini—kedai kopi itu, Laras, bahkan laptop yang lu tinggalkan disana—semuanya adalah bagian dari cerita yang sedang gue tulis.”
Aku tertawa nervous. “Lu bercanda kan?”
Dia menggeleng pelan. “Coba liat tangan lu.”
Aku melihat ke bawah dan tercekat. Tanganku mulai transparan, seperti tinta yang luntur di kertas basah.
“Tolong…” Kata terakhir yang sempat kuketik di laptop sebelum semuanya menghilang.
***
Keesokan harinya, kedai kopi itu ramai dengan polisi yang menyelidiki hilangnya seorang pria berusia tiga puluh tahun. Satu-satunya bukti adalah laptop hitam dengan draft cerita pendek yang belum selesai. Para penyidik kebingungan dengan misteri ini, tak menyadari bahwa di sudut kedai, seorang perempuan bernama Kinar sedang menulis cerita baru di laptopnya, sesekali tersenyum sambil memandang ke arah laut.
Di layarnya terketik: “Suatu hari di bulan oktober yang terasa lebih dingin dari bulan-bulan sebelumnya…”