TWIST IN MY STORY
Pada suatu sore di bulan Agustus, ketika matahari masih enggan turun dari singgasananya, aku menemukan diriku berjalan memasuki sebuah stasiun kereta yang dindingnya dilapisi keramik krem. Udara terasa lengket di kulitku, mengingatkanku pada sensasi ketika kau mencoba melepaskan plester yang sudah terlalu lama menempel. Namun, alih-alih rasa sakit, yang kurasakan hanyalah kekosongan yang aneh.
Namaku Endra. Setidaknya itulah nama yang kugunakan saat ini. Apakah itu nama asliku? Entahlah. Terkadang aku sendiri lupa siapa diriku sebenarnya. Yang kutahu, aku adalah seorang pria berusia 28 tahun yang bekerja di sebuah perusahaan yang namanya tak penting untuk disebutkan. Hidupku berjalan dalam rutinitas yang membosankan, seperti air yang mengalir di sungai yang sama setiap harinya.
Aku berhenti di depan gate stasiun, merogoh saku untuk mengambil kartu elektronik yang entah sejak kapan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Kutatap kartu itu sejenak. Sebuah benda persegi panjang berwarna biru dengan chip yang terlihat seperti mata yang mengawasi. Mungkinkah kartu ini tahu lebih banyak tentang hidupku daripada diriku sendiri?
Kutempelkan kartu itu pada sensor. Bunyi ‘bip’ terdengar, diikuti dengan suara pintu gate yang terbuka. Sebuah undangan untuk masuk ke dunia lain, mungkin? Atau hanya sekadar jalan menuju rutinitas yang sama?
Kulangkahkan kakiku melewati gate, menaiki tangga menuju peron. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah gravitasi sedang bermain-main denganku. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja? Terkadang sulit membedakan antara realitas dan ilusi dalam hidup ini.
Peron stasiun dipenuhi orang-orang yang baru pulang kerja. Wajah-wajah lelah yang identik, seolah-olah mereka semua adalah hasil cloning dari satu individu yang sama. Apakah aku juga terlihat seperti mereka? Kuharap tidak.
Tiba-tiba, sebuah memori muncul di benakku. Sebuah artikel yang pernah kubaca tentang ‘oshiya’ di Jepang. Orang-orang yang bertugas mendorong penumpang masuk ke dalam kereta yang sudah penuh sesak. Membayangkan pekerjaan itu membuatku tersenyum getir. Bukankah kita semua, pada dasarnya, adalah ‘oshiya’ dalam hidup ini? Terus mendorong diri kita sendiri, dan orang lain, menuju tujuan yang bahkan tidak kita yakini.
Kulihat sebuah bangku kosong di ujung peron. Tanpa pikir panjang, aku duduk di sana. Bangku besi yang dingin, kontras dengan udara yang panas dan lembab. Sensasi yang aneh, tapi entah mengapa terasa familiar.
Pengumuman bahwa kereta akan segera tiba terdengar dari pengeras suara. Suara monoton yang entah sudah berapa ribu kali kudengar. Kulirik jam tanganku. 17:10. Waktu yang sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Seolah-olah waktu telah berhenti bergerak, terjebak dalam loop yang tak berujung.
Kubuka tas ranselku, mengambil sepasang earphone wireless. Benda kecil yang menjadi perisaiku dari dunia luar. Kupasang di telinga, menyalakan musik dari playlist yang sudah kuhafal di luar kepala.
Slow down, the world isn’t watching us break down
It’s safe to say we are alone now, we’re alone now…
Lagu itu mulai mengalun. Lagu yang entah mengapa selalu membuatku teringat pada seseorang. Seseorang yang mungkin nyata, mungkin juga hanya khayalan. Dalam dunia yang absurd ini, terkadang sulit membedakan antara kenyataan dan imajinasi.
Saat itulah aku melihatnya. Seorang wanita berambut hitam panjang, mengenakan blazer hijau toska dan rok selutut senada. Ia nyaris terjatuh saat mencoba melewati gate yang baru saja tertutup. High heels setinggi 8 cm yang ia kenakan tampaknya menjadi penyebabnya.
Untuk sesaat, aku merasa seperti tokoh utama dalam film drama. Bersiap untuk menangkapnya jika ia benar-benar jatuh. Tapi tentu saja, itu tidak terjadi. Ia berhasil menyeimbangkan dirinya kembali. Dan aku? Aku tetap duduk di tempatku, kembali tenggelam dalam duniaku sendiri.
Wanita itu berjalan ke arah bangku yang berada sekitar tiga meter dari tempatku duduk. Ia mengeluarkan roti sandwich dari kantong plastik yang dibawanya, juga sekaleng kopi. Kulihat ia mulai menyantap makanannya dengan tatapan kosong.
Not a whisper, the only noise is the receiver
I’m counting the seconds until you break the silence
So please just break the silence…
Lagu terus mengalun di telingaku. Dan entah mengapa, sosok wanita itu membuatku teringat pada seseorang. Seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Atau mungkin masih menjadi bagian penting? Aku tidak yakin. Dalam dunia yang terus berubah ini, sulit untuk memastikan apa yang masih ada dan apa yang sudah hilang.
“Apakah kamu ingat, Kyora?” bisikku pada diriku sendiri. “Dulu kita sering duduk di sini, mendengarkan lagu ini bersama-sama. Sekarang aku di sini sendirian, mendengarkan lagu yang sama. Apakah kau juga mendengarkannya di suatu tempat?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, tak terjawab. Seperti banyak hal lain dalam hidupku. Mungkin memang ada beberapa pertanyaan yang lebih baik dibiarkan tanpa jawaban.
Kulirik jam tanganku lagi. Waktu seolah bergerak lambat, atau mungkin memang tidak bergerak sama sekali? Terkadang aku merasa terjebak dalam sebuah momen yang terus berulang, seperti kaset rusak yang terus memutar bagian yang sama.
Kereta datang dan pergi. Orang-orang naik dan turun. Tapi aku tetap di sini, terduduk di bangku besi yang dingin, tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Wanita berblazer hijau toska itu masih di sana. Ia tampak ragu-ragu setiap kali kereta datang. Seolah-olah ada sesuatu yang menahannya untuk naik, atau mungkin mendorongnya untuk tetap tinggal. Aku bertanya-tanya, apakah ia juga terjebak dalam lingkaran waktunya sendiri?
“Mungkin tempat ini, atau mungkin kereta, mengingatkannya pada sesuatu,” pikirku. “Mungkin kita semua punya kenangan yang mengikat kita pada tempat-tempat tertentu.”
Lagu di telingaku berganti.
So you see, this world doesn’t matter to me
I’ll give up all I had just to breathe
The same air as you till the day that I die
I can’t take my eyes off of you…
Lirik itu menusuk hatiku. Mengingatkanku pada percakapan terakhirku dengan Kyora.
“Apakah perjalanan kereta-kereta ini seperti perjalanan hidup, Kyora?” aku bertanya dalam hati. “Seperti yang kau katakan sepuluh hari lalu. Bahwa setiap perhentiannya adalah fase di mana manusia tumbuh dan bergerak bersama waktu. Dari lahir, balita, remaja, dewasa, lalu tua. Dan kereta ini terus melaju sampai stasiun akhir. Sedangkan kematian hanya salah satu fase dari perjalanan hidup, layaknya perjalanan kereta ini.”
Tapi jika memang begitu, di stasiun mana aku berada sekarang? Dan ke mana tujuanku sebenarnya?
Lamunanku buyar ketika kulihat wanita berblazer hijau toska itu akhirnya berhasil masuk ke dalam kereta. Entah mengapa, aku merasa harus mengikutinya. Mungkin ia adalah petunjuk dalam labirin kehidupan yang sedang kujalani.
Aku berdiri, melangkah masuk ke dalam kereta yang sama. Kereta mulai bergerak. Dan entah mengapa, aku merasa bahwa perjalanan ini akan membawaku ke suatu tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.
“Tahlil tujuh hari-an Kyora nanti dimulai ba’da Isya, Ndra. Kamu sudah di jalan? Kabari tante ya kalau sudah sampai stasiun Cilebut, nanti tante suruh Aldo untuk jemput kamu ke rumah.”
Pesan dari Tante Hilda, ibu Kyora. Aku menatap layar ponsel itu lama. Rasanya seperti menerima pesan dari dunia lain. Dunia di mana Kyora masih ada, tapi sekaligus tidak ada.
Kuangkat pandanganku. Wanita berblazer hijau toska itu duduk tepat di hadapanku. Mata kami bertemu. Dan untuk sesaat, aku merasa seperti melihat Kyora di sana.
Mungkinkah? Atau ini hanya permainan pikiran yang lelah?
Kereta terus melaju, membawaku entah ke mana. Ke masa lalu? Ke masa depan? Atau mungkin ke dimensi lain di mana waktu dan ruang tidak lagi memiliki arti?
Aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Dan aku, Akira, atau siapapun diriku sebenarnya, harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
—
Kereta melaju dalam kegelapan, menciptakan ilusi seolah-olah kami sedang melintasi dimensi waktu. Lampu-lampu di dalam gerbong berkedip sesekali, menari-nari di wajah para penumpang yang tampak lelah. Aku masih menatap wanita di hadapanku, mencoba mencari jejak Kyora dalam setiap lekuk wajahnya.
“Maaf,” kataku akhirnya, suaraku terdengar asing di telingaku sendiri. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
Wanita itu mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mataku. Ada sesuatu yang familiar dalam tatapannya, seperti déjà vu yang tak bisa kujelaskan.
“Mungkin,” jawabnya dengan suara lembut. “Dalam mimpi, atau mungkin dalam kehidupan yang lain.”
Jawaban yang aneh, tapi entah mengapa terasa tepat. Seperti potongan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.
“Namaku Endra,” kataku, meski aku sendiri tidak yakin apakah itu benar-benar namaku.
“Rina,” balasnya. “Atau setidaknya itulah nama yang kugunakan saat ini.”
Aku mengangguk, seolah-olah apa yang dikatakannya adalah hal yang paling masuk akal di dunia. Mungkin memang begitu. Mungkin kita semua hanya menggunakan nama-nama sementara, menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan identitas sejati kita.
Kereta keluar dari terowongan, cahaya senja menerobos masuk melalui jendela. Langit berwarna jingga, seperti lukisan abstrak yang terlalu indah untuk dipahami.
“Kau akan turun di mana?” tanyaku, meski aku sudah bisa menebak jawabannya.
“Cilebut,” jawab Rina. “Aku punya janji di sana.”
Tentu saja. Cilebut. Tempat yang sama dengan tujuanku. Kebetulan yang terlalu sempurna untuk menjadi kebetulan.
“Aku juga,” kataku. “Ada acara tahlil yang harus kuhadiri.”
Rina mengangguk pelan. “Untuk seseorang yang spesial?”
“Ya,” jawabku. “Namanya Kyora. Dia… dia adalah segalanya bagiku.”
Rina tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya menyiratkan pemahaman yang dalam. Seolah-olah ia bisa melihat lubang menganga di hatiku yang ditinggalkan oleh kepergian Kyora.
Kereta berhenti di stasiun berikutnya. Beberapa penumpang turun, yang lain naik. Dunia terus berputar, tak peduli dengan duka yang kita rasakan.
“Kyora,” Rina berbisik, seolah-olah mencoba merasakan nama itu di lidahnya. “Nama yang indah.”
“Ya,” aku setuju. “Dia adalah orang yang indah.”
Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah aku harus melanjutkan. Tapi ada sesuatu dalam diri Rina yang membuatku merasa aman untuk membuka diri.
“Kami bertemu di stasiun ini, kau tahu,” kataku. “Dua tahun yang lalu. Dia sedang menunggu kereta, membaca buku yang covernya sudah usang. Aku ingat judulnya: ‘Kafka on the Shore’.”
Rina tersenyum. “Murakami. Penulis favoritku.”
“Kyora juga,” kataku. “Dia selalu bilang bahwa Murakami memahami keanehan dunia ini lebih baik dari siapa pun.”
“Dan apakah dia benar?” tanya Rina.
Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi sejak Kyora pergi, dunia terasa semakin aneh bagiku.”
Rina mengangguk, seolah-olah ia memahami betul apa yang kurasakan. “Terkadang,” katanya pelan, “kita harus kehilangan sesuatu untuk memahami betapa anehnya dunia ini.”
Kata-katanya menusuk hatiku. Aku merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku, tapi kutahan sekuat tenaga. Bukan karena aku malu menangis di depan orang asing, tapi karena aku takut jika air mata ini mulai mengalir, ia tidak akan pernah berhenti.
Kereta kembali melaju, melewati pemandangan yang berubah dari gedung-gedung tinggi menjadi rumah-rumah sederhana. Kami semakin dekat dengan Cilebut.
“Bagaimana…” aku ragu-ragu sejenak, “bagaimana menurutmu tentang kematian?”
Pertanyaan yang aneh untuk diajukan kepada orang yang baru kau temui. Tapi sekali lagi, tidak ada yang normal dalam pertemuan ini.
Rina menatapku lama sebelum menjawab. “Menurutku,” katanya perlahan, “kematian hanyalah pintu menuju ruangan lain dalam rumah besar yang kita sebut kehidupan.”
Aku tertegun. Kata-katanya mirip sekali dengan apa yang pernah dikatakan Kyora.
“Kyora pernah bilang,” aku berkata, suaraku sedikit bergetar, “bahwa kematian hanya salah satu fase dari perjalanan hidup, seperti perjalanan kereta ini.”
Rina tersenyum. Senyum yang entah mengapa membuatku merasa seolah-olah aku sedang melihat Kyora.
“Mungkin Kyora benar,” kata Rina. “Mungkin kita semua hanya penumpang dalam kereta kehidupan ini, berhenti di stasiun-stasiun yang berbeda, tapi pada akhirnya menuju ke tujuan yang sama.”
Aku mengangguk, merasakan kehangatan aneh menjalar di dadaku. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Kyora, aku merasa sedikit lebih ringan.
Pengumuman bahwa kami akan segera tiba di Cilebut terdengar dari pengeras suara. Aku dan Rina bersiap-siap untuk turun.
Ketika kereta berhenti dan pintu terbuka, kami melangkah keluar bersama. Udara malam Cilebut menyambut kami, membawa aroma tanah basah dan bunga melati.
“Senang bertemu denganmu, Ndra” kata Rina. “Semoga acara tahlilnya berjalan lancar.”
“Terima kasih,” balasku. “Dan terima kasih telah menjadi pendengar yang baik.”
Rina tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan berjalan menjauh. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, bertanya-tanya apakah aku akan bertemu dengannya lagi.
Tapi pikiranku segera teralihkan ketika aku melihat Aldo, sepupu Kyora, menungguku di luar stasiun.
“Ayo, Ndra,” katanya. “Sudah ditunggu.”
Aku mengangguk dan mengikutinya. Ketika kami melaju di jalanan malam Cilebut, aku tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke belakang, berharap bisa melihat Rina sekali lagi. Tapi ia sudah menghilang, seolah-olah ditelan oleh kegelapan malam.
Rumah Kyora sudah ramai ketika kami tiba. Orang-orang berpakaian hitam, suara lantunan doa terdengar samar-samar. Tante Hilda menyambutku di pintu, matanya sembab tapi senyumnya hangat.
“Terima kasih sudah datang, Ndra,” katanya, memelukku erat.
Aku mengangguk, tidak mampu berkata-kata. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, duduk di antara para pelayat. Suara doa-doa mengalun, tapi pikiranku melayang jauh.
Ke hari-hari bersama Kyora. Ke stasiun tempat kami pertama kali bertemu. Ke percakapan terakhir kami tentang hidup dan mati. Dan entah mengapa, ke Rina, wanita misterius yang kutemui di kereta.
Tahlil selesai beberapa jam kemudian. Orang-orang mulai pulang satu per satu, tapi aku tetap duduk di tempatku. Tante Hilda menghampiriku.
“Menginaplah, Ndra,” katanya lembut. “Sudah malam.”
Aku mengangguk, merasa tak sanggup untuk pulang ke apartemenku yang kosong malam ini.
Di kamar tamu yang disiapkan untukku, aku berbaring menatap langit-langit. Pikiranku masih dipenuhi oleh Kyora, oleh Rina, oleh pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dan mati yang tak kunjung terjawab.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal.
“Terima kasih untuk percakapannya di kereta. Semoga kau menemukan kedamaian. – Rina”
Aku terkesiap. Aku yakin aku tidak memberikan nomorku pada Rina. Bagaimana bisa…?
Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk. Tante Hilda masuk, membawa sebuah buku di tangannya.
“Ndra,” katanya, “ada yang ingin kutunjukkan padamu.”
Ia menyerahkan buku itu padaku. Sebuah diary. Diary milik Kyora.
“Ia ingin kau membacanya,” kata Tante Hilda sebelum meninggalkan kamar.
Dengan tangan gemetar, aku membuka halaman pertama diary itu. Dan di sana, tertulis dengan tulisan tangan Kyora yang rapi:
“Untuk Kekasihku, yang selalu percaya bahwa ada keajaiban dalam keanehan dunia ini. Aku mungkin sudah pergi, tapi percayalah, kita akan bertemu lagi. Mungkin dalam mimpi, mungkin dalam kehidupan yang lain. Atau mungkin, dalam sosok orang lain yang akan mengingatkanmu padaku. Jangan berhenti mencari keajaiban, Endra. Karena aku akan selalu ada di sana, menunggumu menemukanku kembali.”
Air mataku akhirnya jatuh, membasahi halaman diary itu. Dan entah mengapa, aku merasa seolah-olah bisa mendengar suara Kyora berbisik di telingaku, “Aku di sini, Ndra. Aku selalu di sini.”
Malam itu, aku tertidur dengan diary Kyora di pelukanku, bermimpi tentang kereta yang melintasi waktu, dan seorang wanita berblazer hijau toska yang tersenyum padaku dari kejauhan.